Pada hari
Minggu, 12 Mei 2013, saya berangkat ke Gereja Atmodirono untuk mengikuti misa
Minggu pagi pukul 07.00. Saya mengikuti misa bersama dengan Nila dan Andreas.
Setelah selesai misa, kami menghampiri Helga, Metta, dan Yandika untuk
bersama-bersama menuju ke ruang tempat
kegiatan PIA akan diadakan.
Ya, pada
hari itu, kami berenam akan mendampingi kegiatan PIA di Gereja Atmodirono,
Semarang. Sekitar pukul 08.30, kami sekelompok masuk ke dalam ruang Yoseph
(Ruang tempat kegiatan PIA biasa diadakan) dan bertemu dengan kakak-kakak
pembimbing PIA dari Gereja Atmodirono. Kami menyampaikan konsep kami kepada
mereka dan mereka langsung menyetujuinya.
Kami memulai
kegiatan hari itu dengan berkenalan. Karena anak-anak masih belum bersemangat,
kami mengajak mereka untuk bernyanyi dan menari. Setelah itu dilanjutkan dengan
perkenalan kembali. Kami membuka acara dengan doa pembuka yang saya bacakan dan
diikuti oleh anak-anak. Setelah doa, dilanjutkan dengan pembacaan injil hari
itu, namun anak-anak kurang memperhatikannya, mungkin karena bacaan injil yang
dibacakan terlalu panjang dan agak sulit untuk dipahami anak-anak.
Lalu, kami
mengadakan kuis dengan mengajukan pertanyaan seputar Gereja & Kitab Suci,
dan barangsiapa yang bisa menjawabnya akan mendapatkan hadiah. Tidak semua anak
menjawab dengan benar, tapi kami menghargai keberanian mereka dan kami tetap
memberi mereka hadiah. Kami juga memberi hadiah kepada anak yang berani untuk
bernyanyi di depan teman-temannya. Kemudian, kegiatan PIA dilanjutkan dengan
acara mewarnai. Kami membagikan kertas bergambar Yesus yang naik ke surga,
disaksikan oleh ketiga murid-Nya; mengingat hari Kamis yang lalu kita baru saja
merayakan Hari Kenaikan Yesus.
Kami
mendampingi mereka mewarnai hingga selesai dan tiba waktunya untuk menerima
berkat anak. Kami mendampingi mereka untuk berjalan ke Gereja dan menerima
berkat. Setelah menerima berkat, banyak anak yang kembali kepada orangtua mereka
yang sedang mengikuti misa. Sehingga saat kembali ke ruang Yoseph, hanya
sedikit anak yang tersisa. Kami-pun mengajak mereka bernyanyi dan menutup
kegiatan hari itu dengan doa penutup yang juga diikuti oleh seluruh anak yang
tersisa.
Pada kegiatan hari itu, sebenarnya kami berniat untuk
mengajarkan mereka akan kasih. Tetapi bagi saya, justru saya yang belajar kasih
dari mereka (anak-anak PIA Atmodirono).
Yang pertama, pada saat sesi kuis, ada beberapa anak yang tidak
dapat menjawab pertanyaan dengan benar, tetapi untuk mengahargai keberanian
mereka, kami tetap memberinya hadiah. Lalu, bagaimanakah reaksi anak-anak yang
lain saat melihat hal itu?
Mungkin kalau hal itu terjadi dalam komunitas kita sekarang ini,
dalam sekolah misalnya, anak itu akan dicemooh oleh teman-temannya karena
kesalahannya. Dan tak satu orang-pun yang rela jika ia mendapat hadiah. Saat
ini kita cenderung bersikap tidak suka terhadap keberhasilan orang lain,
meskipun orang itu sebenarnya pantas mendapat penghargaan atas keberhasilannya.
Apalagi dalam hal ini, orang itu gagal tetapi ia tetap dihargai dan diberi
hadiah, seharusnya lebih banyak orang lagi yang tidak terima atas
keberhasilannya mendapat hadiah.
Tetapi, apa yang terjadi
dalam komunitas anak-anak PIA itu? Tak satupun dari mereka yang mencemooh
temannya itu. Bahkan mereka ikut berbahagia atas keberhasilannya temannya
mendapatkan hadiah. Dari sini saya menjadi malu karena sadar bahwa saya sendiri
kalah dengan anak-anak dalam hal mengasihi sesama. Bagi anak-anak itu,
kebahagiaan bukanlah kebahagiaan dari dalam diri mereka semata. Bagi mereka,
kebahagiaan sesamanya merupakan kebahagiaan mereka juga, sehingga dapat kita
lihat betapa bahagianya anak kecil dalam menjalani hidup mereka. Tidak seperti
kita yang hanya sibuk membahagiakan diri kita sendiri. Bahkan tanpa sadar, kita
telah menyakiti sesama kita, demi ambisi untuk kebahagiaan kita sendiri.
Refleksi penting bagi saya dan mungkin juga anda adalah : ”Seberapa besarkah
kasihku sekarang ini bila dibandingkan dengan kasih anak-anak itu terhadap
sesamanya?” “Apakah kebahagiaanku juga merupakan kebahagiaan sesama? Atau justru
membawa petaka bagi sesama?”
Yang kedua, pada saat sesi mewarnai. Di dalam ruang itu telah
disediakan crayon untuk mewarnai yang diletakkan di meja depan. Setelah mereka
mendapat kertas gambar, mereka langsung lari ke depan untuk mengambil
crayon-crayon itu. Pertama kali saya melihat hal itu, saya pikir mereka akan
saling berebut dan menggunakan crayon itu hanya untuk mereka sendiri. Tetapi
ternyata perkiraan saya salah.
Setelah beberapa dari mereka mengambil crayon, mereka mulai
duduk bersama dengan teman-teman mereka, membentuk kelompok-kelompok kecil
sesuai dengan jumlah kotak krayon yang ada. Semua terbagi rata, tidak ada
kelompok yang tidak mendapat crayon, dan tidak ada kelompok yang mendapat 2
kotak crayon. Tanpa kami atur, mereka sudah tau apa yang harus mereka lakukan.
Bersama-sama dalam kelompok, mereka saling bergantian mewarnai gambar mereka
dengan crayon yang ada. Bahkan mereka juga tidak keberatan saat kami ikut
mewarnai bersama mereka dan menggunakan crayon bersama mereka.
Dari sini saya kembali merasa malu. Betapa saya sering egois
terhadap sesama saya. Setelah berhasil mendapat apa yang saya inginkan, saya
akan menjaga barang itu baik-baik untuk diri saya sendiri. Bahkan terkadang
saya tidak rela jika barang itu dipinjam, bahkan oleh saudara kandung saya
sendiri. Saya selalu merasa bahwa orang yang paling tepat untuk menjaga barang
itu adalah saya, dan orang lain tidak boleh menggunakan barang itu. Saya selalu
merasa tidak rela jika barang itu sampai rusak atau hilang jika digunakan oleh
orang lain. Saya akan merasa lebih bahagia jika barang itu aman berada di
tangan saya tanpa tersentuh oleh siapapun.
Kembali saya belajar dari anak-anak itu. Betapa kebahagiaan
mereka sungguhlah sangat mulia. Setelah berhasil mendapat apa yang mereka
inginkan, mereka justru membagikan barang itu kepada sesamanya untuk digunakan
bersama-sama. Mereka merasa lebih bahagia jika mereka dapat membagi kebahagiaan
mereka kepada sesamanya, daripada ketika mereka memyimpan kebahagiaan itu untuk
diri mereka sendiri. Harga dari kebahagiaan yang mereka dapat saat berbagi
dengan teman-temannya, jauh lebih besar daripada harga barang itu sendiri jika
hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Satu lagi refleksi penting untuk kita :
“Sudahkah aku membagi kebahagiaanku kepada sesama? Atau justru aku hanya memendam kebahagiaan itu untuk diriku
sendiri, hingga aku jatuh dalam keegoisan?”
Semarang,
19 Mei 2013