Jumat, 22 Maret 2019

Pengajaran Kasih PIA Atmodirono


Pada hari Minggu, 12 Mei 2013, saya berangkat ke Gereja Atmodirono untuk mengikuti misa Minggu pagi pukul 07.00. Saya mengikuti misa bersama dengan Nila dan Andreas. Setelah selesai misa, kami menghampiri Helga, Metta, dan Yandika untuk bersama-bersama  menuju ke ruang tempat kegiatan PIA akan diadakan.
Ya, pada hari itu, kami berenam akan mendampingi kegiatan PIA di Gereja Atmodirono, Semarang. Sekitar pukul 08.30, kami sekelompok masuk ke dalam ruang Yoseph (Ruang tempat kegiatan PIA biasa diadakan) dan bertemu dengan kakak-kakak pembimbing PIA dari Gereja Atmodirono. Kami menyampaikan konsep kami kepada mereka dan mereka langsung menyetujuinya.
Kami memulai kegiatan hari itu dengan berkenalan. Karena anak-anak masih belum bersemangat, kami mengajak mereka untuk bernyanyi dan menari. Setelah itu dilanjutkan dengan perkenalan kembali. Kami membuka acara dengan doa pembuka yang saya bacakan dan diikuti oleh anak-anak. Setelah doa, dilanjutkan dengan pembacaan injil hari itu, namun anak-anak kurang memperhatikannya, mungkin karena bacaan injil yang dibacakan terlalu panjang dan agak sulit untuk dipahami anak-anak.
Lalu, kami mengadakan kuis dengan mengajukan pertanyaan seputar Gereja & Kitab Suci, dan barangsiapa yang bisa menjawabnya akan mendapatkan hadiah. Tidak semua anak menjawab dengan benar, tapi kami menghargai keberanian mereka dan kami tetap memberi mereka hadiah. Kami juga memberi hadiah kepada anak yang berani untuk bernyanyi di depan teman-temannya. Kemudian, kegiatan PIA dilanjutkan dengan acara mewarnai. Kami membagikan kertas bergambar Yesus yang naik ke surga, disaksikan oleh ketiga murid-Nya; mengingat hari Kamis yang lalu kita baru saja merayakan Hari Kenaikan Yesus.
Kami mendampingi mereka mewarnai hingga selesai dan tiba waktunya untuk menerima berkat anak. Kami mendampingi mereka untuk berjalan ke Gereja dan menerima berkat. Setelah menerima berkat, banyak anak yang kembali kepada orangtua mereka yang sedang mengikuti misa. Sehingga saat kembali ke ruang Yoseph, hanya sedikit anak yang tersisa. Kami-pun mengajak mereka bernyanyi dan menutup kegiatan hari itu dengan doa penutup yang juga diikuti oleh seluruh anak yang tersisa.
Pada kegiatan hari itu, sebenarnya kami berniat untuk mengajarkan mereka akan kasih. Tetapi bagi saya, justru saya yang belajar kasih dari mereka (anak-anak PIA Atmodirono).
Yang pertama, pada saat sesi kuis, ada beberapa anak yang tidak dapat menjawab pertanyaan dengan benar, tetapi untuk mengahargai keberanian mereka, kami tetap memberinya hadiah. Lalu, bagaimanakah reaksi anak-anak yang lain saat melihat hal itu?
Mungkin kalau hal itu terjadi dalam komunitas kita sekarang ini, dalam sekolah misalnya, anak itu akan dicemooh oleh teman-temannya karena kesalahannya. Dan tak satu orang-pun yang rela jika ia mendapat hadiah. Saat ini kita cenderung bersikap tidak suka terhadap keberhasilan orang lain, meskipun orang itu sebenarnya pantas mendapat penghargaan atas keberhasilannya. Apalagi dalam hal ini, orang itu gagal tetapi ia tetap dihargai dan diberi hadiah, seharusnya lebih banyak orang lagi yang tidak terima atas keberhasilannya mendapat hadiah.
 Tetapi, apa yang terjadi dalam komunitas anak-anak PIA itu? Tak satupun dari mereka yang mencemooh temannya itu. Bahkan mereka ikut berbahagia atas keberhasilannya temannya mendapatkan hadiah. Dari sini saya menjadi malu karena sadar bahwa saya sendiri kalah dengan anak-anak dalam hal mengasihi sesama. Bagi anak-anak itu, kebahagiaan bukanlah kebahagiaan dari dalam diri mereka semata. Bagi mereka, kebahagiaan sesamanya merupakan kebahagiaan mereka juga, sehingga dapat kita lihat betapa bahagianya anak kecil dalam menjalani hidup mereka. Tidak seperti kita yang hanya sibuk membahagiakan diri kita sendiri. Bahkan tanpa sadar, kita telah menyakiti sesama kita, demi ambisi untuk kebahagiaan kita sendiri. Refleksi penting bagi saya dan mungkin juga anda adalah : ”Seberapa besarkah kasihku sekarang ini bila dibandingkan dengan kasih anak-anak itu terhadap sesamanya?” “Apakah kebahagiaanku juga merupakan kebahagiaan sesama? Atau justru membawa petaka bagi sesama?
Yang kedua, pada saat sesi mewarnai. Di dalam ruang itu telah disediakan crayon untuk mewarnai yang diletakkan di meja depan. Setelah mereka mendapat kertas gambar, mereka langsung lari ke depan untuk mengambil crayon-crayon itu. Pertama kali saya melihat hal itu, saya pikir mereka akan saling berebut dan menggunakan crayon itu hanya untuk mereka sendiri. Tetapi ternyata perkiraan saya salah.
Setelah beberapa dari mereka mengambil crayon, mereka mulai duduk bersama dengan teman-teman mereka, membentuk kelompok-kelompok kecil sesuai dengan jumlah kotak krayon yang ada. Semua terbagi rata, tidak ada kelompok yang tidak mendapat crayon, dan tidak ada kelompok yang mendapat 2 kotak crayon. Tanpa kami atur, mereka sudah tau apa yang harus mereka lakukan. Bersama-sama dalam kelompok, mereka saling bergantian mewarnai gambar mereka dengan crayon yang ada. Bahkan mereka juga tidak keberatan saat kami ikut mewarnai bersama mereka dan menggunakan crayon bersama mereka.
Dari sini saya kembali merasa malu. Betapa saya sering egois terhadap sesama saya. Setelah berhasil mendapat apa yang saya inginkan, saya akan menjaga barang itu baik-baik untuk diri saya sendiri. Bahkan terkadang saya tidak rela jika barang itu dipinjam, bahkan oleh saudara kandung saya sendiri. Saya selalu merasa bahwa orang yang paling tepat untuk menjaga barang itu adalah saya, dan orang lain tidak boleh menggunakan barang itu. Saya selalu merasa tidak rela jika barang itu sampai rusak atau hilang jika digunakan oleh orang lain. Saya akan merasa lebih bahagia jika barang itu aman berada di tangan saya tanpa tersentuh oleh siapapun.
Kembali saya belajar dari anak-anak itu. Betapa kebahagiaan mereka sungguhlah sangat mulia. Setelah berhasil mendapat apa yang mereka inginkan, mereka justru membagikan barang itu kepada sesamanya untuk digunakan bersama-sama. Mereka merasa lebih bahagia jika mereka dapat membagi kebahagiaan mereka kepada sesamanya, daripada ketika mereka memyimpan kebahagiaan itu untuk diri mereka sendiri. Harga dari kebahagiaan yang mereka dapat saat berbagi dengan teman-temannya, jauh lebih besar daripada harga barang itu sendiri jika hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Satu lagi refleksi penting untuk kita : “Sudahkah aku membagi kebahagiaanku kepada sesama? Atau justru aku hanya  memendam kebahagiaan itu untuk diriku sendiri, hingga aku jatuh dalam keegoisan?

Semarang, 19 Mei 2013